Rabu, 15 April 2009

Mitigasi Bencana Perkotaan

Diposting oleh FPBI di 03.32
Bercermin dari tragedi Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang Selatan yang mengerikan dan meninggalkan kepedihan mendalam bagi masyarakat perkotaan yang tertimpa bencana tersebut. Menelaah tingkat kerentanan (vulnerability) perkotaan di Indonesia adalah suatu hal penting dan mendesak untuk dikaji dan dievaluasi sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya ‘bencana alam’ yang bermakna sebuah tragedi, karena bencana baru akan terjadi bila ‘bahaya alam’ terjadi pada ‘kondisi yang rentan’, seperti yang dikemukakan Awotona (1997:1-2).
Banyak peristiwa bencana perkotaan yang telah terjadi: Banjir Bandang Situ Gintung, Banjir Jakarta, Kebakaran Depo Pertamina Jakarta Utara, Kecelakaan Kereta Api Bintaro, Banjir Palembang, Banjir Bandang Situbondo, Banjir Bojonegoro, Banjir Banjarmasin, Banjir Surabaya, Gempa Palu, Gempa Manokwari, Kebakaran Depo Pertamina Jayapura, Longsor Menado, Tsunami Banda Aceh, dan Gempa Bantul yang semuanya menyisakan penderitaan dan mengakibatkan jatuhnya korban serta menimbulkan kerusakan dan kerugian yang masif.
Berdasarkan banyaknya peristiwa bencana alan dan non alam di perkotaan di Indonesia, kajian dan upaya mitigasi bencana perkotaan sangat mendesak dilakukan oleh pemerintah melalui depertemen terkait.
Mengkaji tingkat kerentanan kota-kota di Indonesia seperti kota-kota yang berada diwilayah Jabodetabek, Gerbangkertasusila, dan kawasan lainnya melalui beberapa indikator kerentanan. Pengkajian dan mengelola kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan (demografi), dan ekonomi di perkotaan merupakan program besar dan rumit. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor berbahaya (hazard) tertentu. Melihat dari berbagai indikator sebagai berikut : persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA, maka perkotaan Indonesia dapat dikatakan berada pada kondisi yang sangat rentan karena persentase kawasan terbangun, kepadatan bangunan dan bangunan konstruksi darurat di perkotaan tinggi sementara di lain pihak persentase, jaringan listrik, rasio panjang jalan, jaringan telekomunikasi, jaringan PDAM, jalan KA rendah.
Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita, maka kota-kota di Indonesia memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Belum lagi jika kita melihat kondisi sosial saat ini yang semakin rentan terhadap bencana non-alam (manmade disaster), seperti rentannya kondisi sosial masyarakat terhadap kerusuhan, tingginya angka pengangguran, instabilitas politik, dan tekanan ekonomi yang berdasarkan ramalan para pakar potensi memunculkan pengungsi lintas batas (refugees) ke negara lain.
Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin.
Beberapa indikator kerentanan fisik, ekonomi dan sosial tersebut di atas menunjukkan bahwa kota-kota di Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi, sehingga hal ini mempengaruhi/menyebabkan tingginya resiko terjadinya bencana di wilayah perkotaan Indonesia.
Berdasarkan potensi bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan resiko ‘bencana’ yang akan terjadi di perkotaan Indonesia tergolong tinggi. Resiko bencana pada wilayah perkotaan Indonesia yang tinggi tersebut disebabkan oleh potensi ancaman yang dimiliki wilayah-wilayah tersebut yang memang sudah tinggi, ditambah dengan tingkat kerentanan yang sangat tinggi pula. Sementara faktor lain yang mendorong semakin tingginya resiko bencana ini adalah menyangkut pilihan masyarakat (public choice). Banyak penduduk yang memilih atau dengan sengaja tinggal di kawasan yang rawan/rentan terhadap bencana dengan berbagai alasan seperti kesuburan tanah, atau opportunity lainnya yang dijanjikan oleh lokasi tersebut. Harga tanah yang tinggi menempatkan penduduk untuk memilih tinggal di kawasan rawan bencana. Kawasan rawan bencana seperti tinggal di bantaran sungai, situ (telaga), instalasi berbahaya (depo bahan bakar/gas, pembangkit listrik, dan industri berbahaya)
Dari latar belakang tentang bencana alam di perkotaan Indonesia, mitigasi bencana perkotaan merupakan langkah yang mendesak dilakukan oleh pemangku kepentingan sebagai langkah pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction management). Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi;

Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Mitigasi dilakukan untuk memperkecil, mengurangi dan memperlunak atau sampai meniadakan dampak yang ditimbulkan bencana. Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam(natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia(man-made disaster).

0 komentar on "Mitigasi Bencana Perkotaan"

Posting Komentar

 

Mitigasi Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez