Relawan FPBI

Telah 3 tahun, tugas para relawan FPBI dalam aksi kemanusiaan di wilayah Bencana Kegagalan Teknologi yang dikenal dengan sebutan Lumpur Lapindo, di Kec. Porong, Sidoarjo

Sabtu, 30 Mei 2009

Gunung Bawah Laut Di Sumatera

Diposting oleh FPBI di 11.59 1 komentar
Penelitian yang dilakukan pasca tsunami Aceh 2004 oleh Tim Peneliti Gabungan BPPT, LIPI, PVMBG, CGG Veritas dan IPP (institut de Physique du Globe, Perancis) pada 9-27 Mei 2009 telah menemukan gunung api bawah laut (seamount) berada di posisi dengan jarak 330 kilometer arah barat dari Kota Bengkulu, Sumatera. Gunung tersebut memiliki ketinggian kurang lebih 4.600 meter pada kedalaman 5.900 meter. Kedalaman puncak dari gunung api ini berada pada kedalaman 1.280 meter dari permukaan laut. Gunung ini mempunyai lebar sekira 50 kilometer.

Demikian dilansir dari AFP, Minggu (30/5/2009). Menurut pakar geologi kelautan Indonesia Yusuf Surahman gunung itu ditemukan awal Mei ini saat melakukan pemetaan seismik dasar laut. "Kelihatannya seperti sebuah gunung berapi karena bentuk kerucutnya, tapi mungkin juga bukan. Kami harus menyelidikinya lebih lanjut," tutur Yusuf.

Pemetaan seismik survei geologi ultra-deep diadakan atas kerjasama dengan ilmuwan Prancis dan perusahaan Geofisika CGGVeritas. Tujuannya mendapatkan gambaran batas lempeng litosfer bawah laut dan perubahan dasar laut di pusat gempa yang menimbulkan tsunami Aceh tahun 2004.
Penemuan gunung bawah laut ini masih menimbulkan kontroversi. Beberapa pihak mensinyalir bahwa gunung tersebut dapat mengalami letusan dan meminimbulkan gempa serta tsunami. Namun pihak lainnya memastikan gunung raksasa bawah laut yang ditemukan di perairan Sumatera tidak akan meletus dan tidak menyebabkan bencana tsunami.
"Saya berani jamin gunung itu tidak akan meletus," kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hery Harjono. Namun begitu, tentu saja dengan adanya temuan ini harus terus dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perkembangannya.

Kabar ditemukannya gunung api raksasa di bawah laut perairan Sumatera cukup menggemparkan namun juga bisa dijadikan peringatan dini terhadap kemungkinan bahaya gempa maupun tsunami. Menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, mengingatkan agar temuan itu bisa menjadi perhatian besar bagi semua pihak. "Ini temuan luar biasa di mana bisa menjadi perhatian besar bagi kita semua, apalagi jika meletus, bisa menyebabkan tsunami," kata Surono Kepala PVMBG. Sebagai informasi, Surono mencontohkan beberapa gunung api aktif bawah laut di Indonesia seperti Gunung Submarin di Sulawesi Utara yang meletus pada 1922. Menurut PVMBG gunung bawah laut (seamount) ini memecahkan rekor sebagai gunung terbesar di Indonesia.

Ia memprediksi, gunung api yang ditemukan itu sebelumnya pernah beberapa kali meletus sehingga material-material letusannya membuat gunung itu semakin besar seperti sekarang ini.

Menurut Surono, para peneliti harus meneliti lebih lanjut untuk mengetahui kepastian gunung berapi itu, seperti tingkat keaktifan magmanya, memiliki lubang pada bagian atasnya sebagai tempat untuk keluar letusan dan lainnya.

Bila gunung itu merupakan gunung berapi, lanjut Surono, akan sangat berbahaya bila meletus. Gunung api yang berada di tengah laut itu bisa menimbulkan gelombang besar di permukaan laut, bahkan tsunami. Oleh sebab itu, perlu ada perhatian serius dari pemerintah untuk mengantisipasi hal itu.

“Para peneliti juga harus melakukan pengawasan dan pemantauan mengenai kondisi gunung tersebut serta membuat peta rawan bencana di sekitar gunung itu sehingga dapat mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Namun masyarakat diimbau untuk tidak panik atau mengkhawatirkan bakal meletusnya gunung raksasa di bawah laut di perairan Sumatera sehingga menyebabkan bencana tsunami. Gunung raksasa bawah laut di perairan Sumatera sebenarnya tidak hanya satu, melainkan dua. Dipastikan gunung itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan sudah diketahui warga. Gunung tersebut bukan berada di jalur vulkanik tapi di jalur kerak samudra dan berada di bagian dalam zona subduksi seperti hot spot.

Dua gunung di Sumatera, yakni Gunung Kerinci dan Gunung Talang, saat ini sedang berfluktuasi, namun hal ini dipastikan tidak ada kaitan dan tidak akan mempengaruhi aktivitas gunung raksasa bawah laut yang baru ditemukan di perairan Sumatera. Seperti diketahui, hingga saat ini Gunung Kerinci masih berfluktuasi dan mengeluarkan abu yang berasal dari kawah setinggi 500 meter. Penyebaran abu tersebut hingga radius 10 kilometer.
Bahkan beberapa waktu lalu ada beberapa binatang di sekitar gunung turun ke bawah. Menurut Kepala Penjaga Gunung Kerinci, Heru Prasetyo, hal itu merupakan tanda-tanda ada aktivitas Gunung Kerinci yang menimbulkan hawa panas. "Binatang itu mencari lokasi yang berhawa lebih dingin. Tapi itu belum tentu gunung akan meletus," katanya.

"Kebetulan saja memang satu jalur, tapi gerakan yang dilakukan oleh aktivitas Kerinci dan Talang tidak ada kaitannya dengan gunung berapi di dasar laut. Jadi warga tidak perlu cemas karena itu hanya berupa informasi saja dan menambah pengetahuan," Ketua Ikatan Ahli Geologi Sumatera Barat Ade Edward.

Para ilmuwan selama ini berusaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai lempeng benua di kawasan itu yang menjadi pusat gempa dahsyat yang kemudian menimbulkan tsunami dalam tahun 2004. Ada siklus gempa 200 tahunan di perairan bawah laut Sumatera. Inilah yang kemudian diteliti para ahli geologi pascagempa dan tsunami Aceh. Mereka pun menemukan satu gunung besar di bawah laut perairan barat Sumatera. Gunung itu ditemukan di zona ring of fire. Sebelumnya, kata dia, pernah juga ditemukan gunung bawah laut di daerah lainnya. “Kita kan melakukan penelitian ini karena sebelumnya di perairan barat Sumatera ada dugaan siklus gempa besar 200 tahunan. Kita juga ingin mengetahui struktur bagian dalam geofisikanya,” lanjut Yusuf.

Ditanya apakah gunung tersebut berpotensi untuk meletus, dia mengatakan gunung yang ditemukan itu bukan berada di jalur vulkanik. “Jadi gunung di bawah laut tersebut belum dapat dipastikan itu aktif atau tidak aktif, vulkano atau bukan. Tapi memang ini mirip dengan (gunung) vulkan,” katanya. Yusuf menyatakan gunung yang ditemukan itu berada di jalur subduksi. Zona subduksi atau zona penunjaman adalah zona menunjamnya (bend downward) lempeng samudra ke bawah lempeng benua. Sumber : okezone.com

Rabu, 13 Mei 2009

Awas! Flu Babi Masuk Bandung

Diposting oleh FPBI di 09.52 0 komentar
Maskapai penerbangan AirAsia mengakui co-pilot yang diduga terjangkit flu babi merupakan karyawan AirAsia. Station Head AirAsia Indonesia Bandung Bangkit Adiwinanto mengakui co-pilot berinisial RES baru mendaratkan pesawat rute Kuala Lumpur-Bandung sebelum dinyatakan sebagai suspect flu babi. Sebelum diberangkatkan ke RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, RES sempat mendapat perawatan medis dari dokter di Bandara. Namun, melihat kondisinya yang tidak kunjung membaik, pihak Air Asia dan bandara langsung memberikan penanganan medis lebih lanjut. Dia menjelaskan, jeda waktu pendaratan pesawat dengan keberangkatan RES ke RSHS, dimanfaatkan petugas medis dan pihak maskapai untuk merawat kondisi RES. Namun, demam tinggi yang diderita RES memutuskan dokter untuk merujuknya ke RSHS.
"Co-pilot berinisial RES (39 thn) asal Surabaya tersebut memang menerbangkan pesawat dari Kuala Lumpur, Malaysia sekitar pukul 10.00 WIB dan tiba di Bandara Husein Sastranegara pada pukul 13.00 WIB," katanya di Bandung, Selasa (12/5).
"Ada jeda waktu antara pendaratan dan masuknya dia ke RSHS. Ketika itu kami mencoba untuk memberikan perawatan kepada dia namun, kondisinya tidak kunjung membaik. Dengan kejadian ini kami belum memutuskan untuk melakukan persiapan khusus," jelasnya.
Walau begitu, kondisi penerbangan maskapai asal Malaysia ini tidak terpengaruh dengan ditemukannya terduga flu babi ini. Dari kapasitas 148 tempat duduk yang disiapkan Air Asia dalam setiap penerbangan, tingkat okupansinya mencapai 50-60 persen atau sekitar 100 penumpang. Hingga saat ini pun tidak ada masyarakat maupun agen perjalanan yang mempermasalahkan dugaan terjangkitnya co-pilot Air Asia ini. Menurut dia, hal ini disebabkan pasar di wilayah Bandung memang menjanjikan sehingga tingkat isian di setiap penerbangannya tidak terpengaruh.
Secara terpisah, General Manager Angkasapura II Bandara Internasional Husein Sastranegara Bandung, Mulya Abdi menolak jika dikatakan co-pilot RES terjangkit flu babi. Dia menuturkan, RES baru terindikasi mengidap virus H1N1 itu dan belum bisa dikatakan sebagai suspect.
"Mungkin dia baru terindikasi dan belum bisa dikatakan sebagai suspect. Gejala yang ditunjukannya masih seperti gejala flu biasa. Tenggorokan sakit, demam, tidak ada yang berbeda dengan flu biasa. Tapi kami memang memutuskan agar dia mendapat perawatan di RSHS. Jadi belum bisa disimpilkan kalau dia terjangkit," tutur Mulya.
Dia berharap ditemukannya kasus suspect flu babi pertama di Kota Bandung ini tidak terlalu dibuat heboh karena akan berdampak buruk kepada dunia penerbangan di Bandung. Dia juga meminta masyarakat agar tidak panik untuk menyikapi hal ini. "Saya khawatir ketika masalah ini dibesar-besarkan justru akan berpengaruh kepada penurunan angka wisatawan asing yang masuk ke Bandung. Kami belum akan memperketat arus lalu lintas kedatangan wisatwan apalagi sampai memasang detektor panas," jelasnya. Sumber : Kompas

Senin, 11 Mei 2009

Flu Kuda Mengintai

Diposting oleh FPBI di 12.47 0 komentar
New Delhi – Serangan virus influenza dari binatang terus berdatangan. Baru saja serangan Flu Burung (avian influenza) diatasi, dan Flu Babi (swine flu) sebentar lagi menjadi pandemi (wabah), kini sudah datang lagi kabar ada serangan virus yang datang dari binatang kuda (equine flu). Penyakit terbaru dari hewan yang diberi nama equine influenza itu menyerang 3 negara, yaitu Australia, jepang dan India. Di India telah menewaskan 43 kuda di negara bagian barat India Rajasthan dan Gurajat. Tahun lalu, pemerintah Prov. Saga, Jepang, juga membatalkan perlombaan pacuan kuda menyusul berjangkitnya flu kuda pada 9 kuda balap. Sebelumnya, kecemasan akan merebaknya wabah flu kuda terjadi di Australia, setelah sedikitnya 4 ekor kuda di Sidney dinyatakan positif terserang flu kuda, pertengahan Desember. Media Australia memperkirakan kuda-kuda itu tertular flu dari kuda asal Jepang yang berkandang di Sidney. Berdasarkan laporan laboratorium di Hissar, Haryana di India Utara, kematian kuda akibat serangan flu itu pertama terjadi pada Januari di Gandhinagar, Gujarat. Untuk mencegah penyakit tersebut tersebar luas, pemerintah Gujarat memutuskan melarang membeli dan menjual kuda di negara bagian itu. Di Rajasthan, 25 kuda tewas pada suatu pameran kuda di daerah Jodhpur, menurut laporan tersebut. Flu Equine disebabkan oleh virus influenza A yang endemik pada kuda. Virus tersebut bisa berpindah ke jenis hewan lain yang sampai kemarin belum diketahui menular pada manusia. Influenza Equine ditandai dengan sangat tingginya penularan diantara kuda, dan mempunyai masa inkubasi relatif singkat, yakni 1-5 hari. Kuda yang terserang flu ini bisa mengembangkan gejala-gejala demam, batuk kering dan keluar ingus dari hidungnya. Sumber : Jawa Pos

Suspect Flu Babi Mendarat di Bali

Diposting oleh FPBI di 11.40 0 komentar
Dari Belanda yang Masuk Kategori Negara Positif Virus Tersebut
BADUNG: Bali nyaris kecolongan. Seseorang perempuan asal Belanda Michelle Vandorssen yang berstatus suspect Flu Babi mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai sekitar pukul 12.48 Minggu (10/5) kemarin. General Manager (GM) PT (Persero) Angkasa Pura (AP) I, Heru Legowo mengatakan perempuan berusia 32 thn tersebut langsung dilarikan ke RS Sanglah Denpasar begitu menjejakkan kakinya di terminal kedatangan Internasional. Penumpang itu turun dari pesawat Malaysia Airlines MH 715 dari Amsterdam dan sempat transit di Kuala Lumpur. "Pesawat itu mengangkut 137 penumpang", kata Heru. Menurutnya, sejak merebaknya virus H1N1, baru kali ini di Bandara Ngurah Rai menemukan penumpang suspect Flu Babi. Michelle sendiri diketahui sakit sejak berada di dalam pesawat. Ketika masih di udara, Kapten pesawat melapor ke ground handling Bandara Ngurah Rai jika di dalam pesawatnya ada pasien yang muntah-muntah. Dugaan Flu Babi pun mencuat. Apalgai, sebelum transit di Kuala Lumpur, Michelle baru terbang dari Belanda, yang masuk kategori wilayah positif H1N1. “ Kapten pesawat tidak mau ambil resiko. Karena itu di minta pihak ground handling melakukan antisipasi”, Kata Heru. Atas laporan tersebut, Tim dari kantor kesehatan bandara langsung siaga dengan peralatan lengkap. Begitu mendarat, penumpang lainya diminta keluar pesawat. Sedangkan Tim kesehatan memeriksa kondisi Michelle didalam pesawat. Usai pemeriksaan, Michelle langsung dirujuk ke RS Sanglah dengan mobil Ambulan DK 1032. “ Dia masih bisa jalan kaki menuju mobil Ambulan. Jadi kondisinya tidak separah seperti yang dibayangkan. Hanya muntah-muntah saja, belum tentu Flu Babi”, kata Heru meyakinkan. Di RS Sanglah, pasien langsung dibawa ke sal Nusa Indah dan dirawat di sal isolasi dengan diantar petugas berbaju “astronot” warna silver. Setiba di RS, tim penanganan Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009 langsung tampak sibuk. Usai memeriksa pasien, Direktur Umum Operasional RS Sanglah, drg Triputro Nugroho Mkes, yang didampingi Ketua Tim Penanganan Flu A (H1N1) Amerika Utara 2009, dr Agus Somia SpPD dan Seketarisnya dr Ken Wirasandi MARS langsung memaparkan hasil pemeriksaan. Menurutnya, perempuan tersebut muntah-muntah. Tim medis juga menyatakan pasien Michelle juga mengeluh sakit saat menelan. "Hasil pemeriksaan pasien yang kami terima, semua masih dalam kondisi baik dan stabil", jelas dr Agus Somia. Dijelaskan, tim dokter melakukan pemeriksaan tekanan darah, pernafasan dan suhu tubuh pasien. Menurutnya untuk tensi, tekanan darah Michelle masih normal yaitu 110/70. Sedangkan pemeriksaan pernafasan yakni antara 20 x 40 menit dengan suhu tubuh 36,9 derajat Celcius.” Secara umum tidak ada gangguan dan masih mengarah pada influenza biasa (influenza like illness)”, terangnya. Masih menurut dr Ken, untuk perkembangan lebih lanjut, pihaknya selain melakukan pengambilan sample darah, tim juga akan mengirim sample pendukung lain ke Lab. Biomolekuler atau Litbangkes. “ Mudah-mudahan dalam waktu dekat antar 1-2 hari sudah ada hasilnya”, harapanya. Sumber : Jawa Pos

Sabtu, 09 Mei 2009

Bahaya : Flu Burung Kawin Flu Babi

Diposting oleh FPBI di 13.16 0 komentar
Setelah sepekan rehat nasional(shut down), warga Mexico kembali menjalani aktivitas rutin mereka. Sekolah-sekolah, tempat-tempat umum dan gedung –gedung perkantoran di buka lagi Kamis (7/5) waktu setempat. Sementara negara di belahan bumi lainnya justru baru mulai sibuk mengonfirmasi kasus pertama mereka.Meski aktifitas publik kembali normal, kami harus tetap waspada dan tidak boleh lupa bahwa virus itu masih ada disini , kata wali kota Mexico Marcelo Ebrard.Kesiagaan menghadapi Flu Babi itu juga di ingatkan lagi oleh WHO. Penting bagi semua negara untuk tetap waspada dan selalu memantau sehingga evolusi yang terjadi bisa tetap bisa di cermati , ujar Keiji Fukuda Pejabat Dirjen Badan Kesehatan Dunia PBB ( WHO ), seperti dikutip Agence France Presse kemarin (8/5). Meski WHO urung mendeklarasikan Flu Babi sebagai pandemi, dia tidak yakin pemerintah dan lembaga – lembaga kesehatan di seluruh dunia mampu mengatasi penyebaran virus H1N1 yang mematikan itu.Data terakhir WHO menunjukkan sedikitnya di temukan 2371 kasus Flu Babi. Semula , WHO menyatakan bahwa pengidap virus H1N1 yang juga disebut inFlu enza A itu terjadi pada 24 negara. Tapi , bersamaan dengan dirilisnya data tersebut , tiga negara mengonfirmasi kan kasus Flu Babi pertama mereka.Yakni jepang , Brazil dan Argentina. Sejauh ini , virus yang kali pertama merebak di meksiko , sementara dua yang lain di Amerika Serikat ( AS ). Lewat konferensi video dari bangkok , Thailand , Fukuda memperingatkan bahwa penyebaran virus H1N1 berpotensi menjadi lebih ganas sekitar akhir tahun. Sebab ,kondisi udara pada musim dingin sangat cocok sebagai media penyebaran virus Flu . Termasuk Flu Babi , Berpuas diri justru akan menjadi bahaya terbesar. Tampaknya , saat ini menjadi periode berkembang biak virus tersebut di berbagai belahan dunia , tandasnya. Dia meramalkan sepertiga populasi dunia berpotensi besar terinfeksi virus H1N1. Sementara itu, sejumlah pakar di Amerika serikat ( AS), mengimbau warga Asia lebih waspada. Sebab , sebagian besar negara di Asia pernah menjadi tuan rumah virus H5N1 atau Flu Burung. Padahal , penularan virus H1N1 pada individu yang pernah menderita Flu Burung bisa mengakibatkan infeksi yang parah. Selain itu , virus tersebut juga akan jauh lebih mematikan. Jika dua jenis virus itu menginfeksi individu yang sama , keduanya bisa bermutasi dan membentuk virus baru yang lebih berbahaya dan mudah menular antar manusi a, urai John Oxford , pakar virus di London Queen Mary’s School of Medicine And Dentistry. Karena itu, lanjut dia , penyebaran H1N1 di kawasan asia patut di waspadai. Pemerintah regional juga di imbau untuk lebih serius melakukan pencegahan. Bersamaan dengan itu , Associated Press melaporkan bahwa Tiongkok dan Hongkong telah mengakhiri masa karantina terhadap warga asing suspect Flu Babi. Kemarin (8/5). Tiongkok mempersilahkan 127 penumpang yang satu pesawat dengan pria mexico yang belakangan dinyataknan positif mengidap Flu Babi , meninggalkan tempat isolasi. Sementara hongkong mengizinkan sedikitnya 280 tamu dan staf hotel yang sempat satu lokasi dengan suspect Flu Babi asal meksiko pulang ke rumah masing-masing. Saya sudah tidak sabar lagi keluar dari tempat ini , ujar Kevin Ireland , pebisnis asal India yang terjebak di hotel hongkong tersebut. Sumber : Jawa pos 9/5/2009.

Tiga Suspect Flu Babi Negatif

Diposting oleh FPBI di 13.13 0 komentar
Virus Flu Babi (swine Flu ) yang kini resmi disebut H1N1 masih belum menjamah Indonesia. Tiga orang suspeck Flu H1N1 di Indonesia yang sempat membuat khawatir masyarakat setelah diperiksa dinyatakan negatif. Mereka adalah John warga negara Australia, Li Xiau Yu jurnalis asal Tiongkok yang meliputi sidang Asian Development Bank (ADB) di Bali, dan warga berinisial SN yang sempat dirawat di RSUD dr Soetomo Surabaya. Menteri Kesehatan Sri Fadilah Supari menyebutkan, hasil pemeriksaan terhadap ke tiganya adalah negatif. “ Saya berharap masyarakat tidak risau dan khawatir terhadap Flu Babi. Meski demikian kita tetap waspada terhadap Flu Babi.kepala Pusat Pengendalian Krisis Depkes Rustam S. Pakaya mengatakan, jurnalis asal Tiongkok Li Xiau Yu sempat dikarantina. “ Sebab, aturan demam 38 derajat langsung dikarantina,” ujar Rustam. Sedangkan SN sempat dirawat dirawat di RSUD dr Soetomo Surabaya dan John dirawat di RS Sulianti Saroso. Berdasar UU Wabah, pasiean yang diduga mengindap virus H1N1 akan dikarantina dan sampel darahnya diperiksa. Mereka diberi obat tamiFlu . Setelah itu dilakukan serangkaian tes kesehatan yang hasilnya akan keluar 6 jam. Rustam menambahkan, Depkes telah menyiapkan prosedur opersional standar (POS) penaganan pasien H1N1. “ Dengan demikian, protap penaganan 100 RS rujukan sama”. Sementara itu, kondisi salh seorang pasien yang diduga menderita inFlu ensa A H1N1 di RS penyakit infekasi Sulinasi Saroso mulai membaik.” Kondisi mulai membaik. Panasnya juga mulai turun jelas Direktur RS Sulianti Saroso Sardikin Giriputro. Sebagaimana diketahui , pasien yang diduga mengidap H1N1 tersebut adalah John , turis asal Australia yang tiba di Jakarta dari Singapura. Dia masuk RS Sulianti Saroso pada selasa malam lalu. Namun, Sardikin belum bisa memastikan apakah turis asal Australia itu positif mengidab Flu Babi atau tidak. Sebab, hasil pemeriksaan laboraturium terhadap John belum selesai .Hasilnya masih di litbang Departemen kesehatan. Namun , informasi dari Depkes menyatakan bahwa hasil pemeriksaan John negatif. Kendati kondisinya telah membaik, kata Sardikin. John masih membutuhkan perawatan intensif hingga di pastikan bebas virus H1N1. Pihak rumah sakit terus melakukan observasi, ungkapnya. Dia menambahkan, pihaknya siap menampung pasien inFlu enza H1N1.RS Sulianti Saroso telah menyediakan 35 kamar untuk pasien dan sepuluh ruang isolasi.Sumber : Jawa Pos 9/5/2009.

Jumat, 08 Mei 2009

Flu Babi Menjelang Fase 6

Diposting oleh FPBI di 10.42 0 komentar
Nampaknya Pandemi Flu Babi (Swine Flu) akan menjelang. Penyebaran Virus H1N1 ini sudah mencapai fase penularan antar manusia. Data resmi website Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, Flu Babi sudah memasuki Fase 5. Fase 5 ditandai dengan penularan antarmanusia yang menyebar di setidaknya dua negara di dalam satu region WHO. Fase 5 adalah signal kuat bahwa pandemi sudah mengancam dan merupakan waktu untuk menyempurnakan organisasi dan komunikasi serta mengimplementasikan rencana mitigasi yang ada.
"Jumlah kasus per 30 April 2009 adalah Austria 1 kasus, Kanada (13), Jerman (3), Israel (2), Selandia Baru (3), Spanyol (4), dan Inggris (5), semua negara ini tidak ada kematian. Sementara itu di AS 91 kasus dan 1 kasus meninggal dunia serta Meksiko 26 kasus dan 7 meninggal dunia. Total di seluruh dunia sampai kemarin ada 148 kasus dan 8 di antaranya meninggal dunia (CFR 5,4 persen)," kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) Departemen Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Kamis (30/4).
Tanggal 29 April 2009 Menteri Kesehatan sudah membuat edaran ke semua gubernur di Indonesia untuk menangani swine flu/flu Meksiko ini. Dalam rilis resminya Departemen Kesehatan RI melalui Menkes Siti Fadillah Supari meminta Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) transparan dalam menangani masalah pandemi flu babi. "WHO seharusnya mengeluarkan bukti-bukti secara transparan," katanya di Jakarta, Senin (4/5). WHO, imbuh menteri, hanya menetapkan fase tanpa memberikan penjelasan yang terang tentang penyebaran flu ini. "Mereka juga hanya mengumumkan angka kematian. Seharusnya WHO juga mengumumkan bukti viuloginya. Sekarang kan masih dalam penelitian WHO tapi tidak pernah disebutkan sampai mana."
"Sudah dikirimkan lagi surat edaran Dirjen P2PL tentang definisi kasus dan pedoman pengobatan kepada semua dinas kesehatan di Indonesia sebagai pegangan petugas kesehatan yang dibuat berdasarkan pertemuan para pakar pada 29 April pagi di Departemen Kesehatan," kata Tjandra Yoga.
Juga telah dikirimkan lagi surat edaran Dirjen P2PL ke semua Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan yang menjelaskan secara lebih rinci alur dan prosedur pemeriksaan penumpang di bandara dan pelabuhan.
Posko DitJen P2PL Depkes secara aktif menghubungi semua kantor kesehatan pelabuhan di seluruh Indonesia setidaknya dua kali sehari untuk mencek perkembangan di berbagai bandara/pelabuhan.

FASE FLU BABI
Mengenai apa yang dimaksud dengan fase-fase pada flu babi, Tjandra Yoga menjelaskan bahwa :

Fase 3 : kasus sporadik atau kluster kecil, penukar antarmanusia terbatas (misalnya pada kontak amat erat), tidak ada penularan berkepanjangan di masyarakat, tidak jelas apakah akan terjadi pandemi.

Fase 4
: jelas ada penularan antarmanusia, telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat (community-level outbreaks). Kemungkinan penularan berkelanjutan menjadi meningkat dan risiko terjadinya pandemi juga makin meningkat secara bermakna.

Fase 5
: ditandai dengan penularan antarmanusia yang menyebar pada setidaknya dua negara di dalam satu region WHO. Fase 5 adalah signal kuat bahwa pandemi sudah mengancam dan merupakan waktu untuk menyempurnakan organisasi dan komunikasi serta mengimplementasikan rencana mitigasi yang ada.

Fase 6
: adalah fase pandemi, di mana sudah terjadi KLB juga juga di setidaknya satu negara lain di luar region WHO yang tadi sudah terkena di fase 5. Kalau sudah ada deklarasi Fase 6, artinya pandemi sedang berjalan. Sumber : Kompas

Sabtu, 02 Mei 2009

Manajemen Risiko & Kebijakan Publik

Diposting oleh FPBI di 12.12 0 komentar
Pengungkapan mengelola risiko bencana di atas ditujukan untuk melihat bahwa dalam merespon bencana alam, sikap saling menyalahkan antar berbagai instrumen pemerintah maupun masyarakat tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh bencana alam maupun non alam ini. Diperlukan kesadaran kritis untuk mengelola lingkungan hidup, melanjutkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah yang terkena dampak bencana, sekaligus mulai belajar untuk membangun kesadaran kolektif dalam merawat lingkungan dan perencanaan pembangunan yang sensitif bukan hanya dalam merespon sewaktu-waktu terjadi bencana melainkan juga dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan. Meningkatnya bahaya yang diakibatkan oleh bencana alam khususnya di Negara berkembang juga dikarenakan oleh upaya pemenuhan kebutuhan kondisi material mendasar seperti pangan, papan, pakaian, sehingga mengabaikan pengendalian dan konservasi hutan, tanah, dan air. Kondisi semacam ini mendorong Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk memprakarsai upaya penanggulangan bencana alam secara internasional melalui deklarasi ‘Dekade Pengurangan Bencana Alam Internasional’ (International Decade for Natural Disaster Reduction) pada awal abad 21.
Meskipun upaya ini masih lebih banyak berlangsung pada level advokasi, akan tetapi kesadaran itu harus segera direspon dalam wujud kelembagaan yang terkoordinasi karena kebutuhan untuk mengurangi risiko bencana secara sistematis memerlukan bukan hanya pemahaman, melainkan juga komitmen bersama antar semua pihak yang saling terkait, terutama di tingkat pengambil keputusan.
Upaya untuk merespon deklarasi PBB dalam mengurangi dampak bencana alam baik secara regional maupun nasional, di beberapa negara ditindak-lanjuti dengan strategi kerangka kerja bersama negara-negara dalam mengatasi dampak bencana maupun risikonya, misalnya seperti yang dilakukan melalui Hyogo Frame Work 2005-2015 dan The Beijing Action. Dalam merespon upaya di tingkat regional semacam itu, Pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana pada akhir tahun 2006 yang lalu. Rencana aksi ini memuat aspek penanganan bencana dalam prioritas Rencana Kerja Pembangunan Pemerintah (RKP) mulai tahun 2007, termasuk merancang produk legal hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana melalui UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Harus diakui bahwa memang dalam level wacana di tingkat pengambil kebijakan khususnya di Pemerintah Pusat, sudah muncul kesadaran paradigmatik dalam penanganan bencana alam. Yakni, penanganan bencana tidak lagi hanya menekankan pada aspek ‘tanggap darurat’ saja, tetapi juga meliputi manajemen risiko. Di dalamnya memuat tanggung-jawab bersama antara pemerintah dan seluruh anggota masyarakat untuk menjaga keseimbangan lingkungan dalam aktivitas sosial dan produksi ekonomi. Meskipun rencana ini merupakan suatu agenda yang progresif, tetapi pelaksanaannya memerlukan pemantauan secara kritis khususnya dari elemen masyarakat sipil. Hal ini dikarenakan upaya untuk menindaklanjuti rencana utama strategi pembangunan yang mempertimbangkan risiko khususnya dalam mengatasi dan menanggulangi dampak bencana alam bukan hanya melibatkan mobilisasi secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus mempertimbangkan konteks budaya dari masyarakat di sekitar wilayah yang rawan bencana dalam tujuan untuk memobilisasi partisipasi sosial mereka. Belajar dari pengalaman yang berlangsung di negara lain misalnya, upaya untuk mempertimbangkan unsur budaya dalam penyusunan formulasi kebijakan publik yang mempertimbangkan aspek keseimbangan lingkungan dimunculkan melalui wacana dan gerakan sosial mengenai prinsip Environmental Justice (keadilan lingkungan). Aktivitas yang memobilisasi partisipasi masyarakat semacam ini merupakan suatu gerakan yang meliputi upaya advokasi dan proses lobi dalam formulasi kebijakan publik yang datang dari inisiatif masyarakat setempat khususnya yang berkenaan dengan upaya konservasi lingkungan. Prinsip mengenai Environmental Justice sebenarnya bukan hal yang baru karena gagasan dan gerakannya secara global telah berlangsung kira-kira selama tiga puluh tahun terakhir. Gerakan ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1976 yang diprakarsai oleh Serikat Pekerja Automobil Seluruh Amerika Serikat akibat adanya kontaminasi limbah industri yang mempengaruhi kondisi lingkungan dan mencemari air sungai. Prinsip Environmental Justice yang diadvokasikan secara global itu meliputi nilai- nilai antara lain :
  1. Semua orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada aktivitas hidup yang dipengaruhi oleh lingkungan termasuk kesehatan;
  2. Kontribusi publik menjadi bagian yang mempengaruhi regulasi yang diputuskan oleh lembaga/pihak terkait;
  3. Perhatian publik atas masalah lingkungan hidup yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari mereka harus menjadi unsur utama dalam proses pengambilan keputusan;
  4. Para pengambil keputusan harus secara aktif mencari-tahu dan memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan yang secara potensial mempengaruhi mereka.

Secara praktis, prinsip keadilan lingkungan mengutamakan prosedur kebijakan yang memuat unsur-unsur keadilan sebagai berikut:

Keadilan Distributif
Dalam prakteknya merupakan langkah-langkah proteksi (perlindungan) untuk mendapatkan kesetaraan dalam memperoleh rasa aman dari dampak eksploitasi lingkungan, misalnya dari pencemaran alam. Pencemaran lingkungan yang bukan diakibatkan dari kehendak warga masyarakat, melainkan karena faktorfaktor pembangunan ekonomi seperti limbah industri, tidak bisa didistribusikan sebagai beban yang ditanggung oleh warga masyarakat di sekitarnya.

Keadilan Prosedural
Prakteknya harus merupakan penyusunan regulasi dan aturan yang bersifat ‘transparan’ sehingga memungkinkan anggota masyarakat untuk mengakses informasi dalam pengambilan keputusan yang memiliki dampak pada lingkungan. c. Keadilan Korektif Upaya untuk menerapkan aturan legal formal melalui legislasi, aturan dan regulasi atau proses hukum yang memungkinkan upaya-upaya untuk mendapatkan ‘keadilan formal’ sebagai dampak lingkungan, misalnya melalui perwujudan kompensasi bagi warga masyarakat yang dirugikan dan hukuman bagi mereka yang terbukti melakukan ‘kerusakan alam’.

Keadilan Sosial
Mengupayakan keadilan yang terfokus pada upaya membangun kesejahteraan masyarakat dengan menghindarkan eksploitasi secara berlebih-lebihan terhadap sumber daya alam melalui mekanisme keadilan prosedural, misalnya penerapan kajian dampak lingkungan, melibatkan peran-serta warga masyarakat dalam pembangunan ekonomi ramah lingkungan, serta pengenaan pajak atas eksploitasi sumber daya alam oleh kepentingan bisnis (korporasi) untuk didistribusikan sebagai tanggung- jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat.

Rancangan kebijakan yang hanya sekedar merespon persoalan jangka pendek bukanlah solusi yang tepat dalam menjaga kesinambungan daya tahan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rawan bencana. Perumusan visi dan perencanaan agenda dalam penyusunan kebijakan bukan hanya sekedar melihat konteks ‘bencana’ dan kerusakan lingkungan sebagai masalah ekologis dan ekonomi semata, melainkan juga masalah yang bersifat sosial, politis dan kultural. Artinya, prinsip ‘keadilan lingkungan’ memuat pula norma dan nilai kultural dalam penerapan aturan dan regulasi yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Prinsip keadilan sosial justru akan memiliki ‘daya guna’ ketika masyarakat mulai menyadari potensi yang mereka miliki, baik potensi yang berpengaruh pada kerentanan maupun kekuatan dalam mengelola hubungan produktifnya dengan lingkungan alam. Efek ‘daya guna’ itu hanya akan muncul apabila masyarakat merasa bahwa ‘prinsip keadilan lingkungan’ adalah ‘kebutuhan’ mereka, bukan suatu ideologi yang dipaksakan tanpa memberikan daya manfaat apapun bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan mereka sendiri. Oleh karena itu, gerakan sosial yang bertujuan untuk mereformasi lingkungan hidup juga harus berorientasi pada upaya untuk mereformasi struktur kuasa yang melingkupi berbagai kebijakan yang berdampak baik secara langsung, maupun tidak langsung pada lingkungan hidup dan lingkungan manusia itu sendiri. Dengan mencermati rujukan konsep ‘keadilan lingkungan’ dalam upaya menyusun manajemen risiko bencana, maka asumsi mendasar yang harus dikembangkan adalah keterlibatan peran serta aktif seluruh anggota masyarakat. Oleh karenanya program manajemen risiko haruslah berbasis pada pendekatan komunitas. Pendekatan berbasis komunitas merupakan pembukaan ruang bagi advokasi dan kesempatan yang lebih luas untuk masyarakat agar berperan lebih aktif. Langkah ini meliputi bagaimana mengintegrasikan peran masyarakat ke dalam upaya-upaya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, langkah-langkah kesiapsiagaan, tindakan tanggap bencana, serta tindakan pemulihan setelah terjadinya bencana. Dengan mengedepankan pendekatan mobilisasi partisipasi masyarakat yang memiliki basis di dalam komunitas, maka masyarakat akan memiliki kesadaran kritis, daya sensitif dalam mewaspadai potensi bencana alam di wilayah mereka tinggal, termasuk bagaimana menangani dampak bencana melalui upaya meningkatkan kemampuan untuk mengkonsolidasikan sumber daya di tingkat lokal.
Perencanaan program manajemen risiko bencana berbasis komunitas (CBDRM – Communty Based Disaster Risk Management) yang dilakukan mulai di tingkat lokal merujuk pada tiga elemen utama paradigma penanggulangan bencana, yakni:
  1. Mengubah respon darurat ke manajemen risiko; yang secara esensial mencangkup segala kegiatan untuk mengurangi dampak bencana alam dan bahkan menghindarinya.
  2. Melindungi rakyat dari akibat yang ditimbulkan oleh bencana sebagai kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); yang secara esensial merupakan wujud tugas dan kewajiban pemerintah dimana bentuk-bentuk respon terhadap bencana bukan sekedar memobilisasi ‘kemurahatian’ (charity) – melainkan bagian terintegrasi dalam perlindungan harkat hidup kemanusiaan bagi setiap warga negaranya.
  3. Menanggulangi dampak bencana sebagai tanggung-jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat; yang secara esensial mengajak masyarakat bertanggung-jawab atas penanggulangan bencana melalui kegiatan berbasis pada inisiatif warga masyarakat seperti praktek tanggung-jawab sosial dari korporasi (CSR- Corporate Social Responsibility), serta penguatan strategi berbasis pengetahuan lokal dan penggunaan tradisi masyarakat yang mendukung upaya sentral dalam menanggulangi dampak bencana.
Secara garis besar, CBDRM mensyaratkan fungsi semua elemen, pemerintah, masyarakat sipil, dan kalangan bisnis-korporasi untuk secara aktif mengupayakan model perencanaan pembangunan yang sensitif terhadap risiko bencana, baik yang diakibatkan oleh alam, maupun karena adanya intervensi manusia. Upaya ini secara teknis menyangkut prosedur pendayagunaan informasi data spasial daerah yang memiliki kerentanan bencana khususnya di dalam penyusunan pembangunan tata ruang yang mengkalkulasi risiko bencana serta penangulangannya. Oleh karena itu, prosedur ini hanya bisa berjalan baik apabila dilengkapi dengan sistem informasi dan pengawasan pembangunan tata-ruang melalui penguatan kelembagaan khususnya di dalam tata pemerintahan (baik pusat maupun daerah) sebagai motor utama penjabaran nilai paradigma pembangunan yang sensitif terhadap bencana, juga sebagai wujud tanggung-jawab pemerintah dalam melindungi warga negaranya (masyarakat). Jika dicermati ketiga elemen utama dalam paradigma manajemen risiko berbasis komunitas sebagaimana yang diulas di muka, maka nampak upaya untuk memuat prinsip nilai mengenai ‘environmental justice’ diturunkan ke dalam formulasi strategi penyusunan kebijakan manajemen risiko berbasis komunitas (CBDRM). Meskipun demikian, dikarenakan pendekatan CBDRM merupakan suatu program yang juga mengakomodasi nilai dan tradisi lokal, karenanya harus melihat kenyataan bahwa unsur nilai-nilai budaya lokal dalam masyarakat Indonesia itu bersifat majemuk. Mengapa hal tersebut perlu menjadi suatu kesadaran kritis, karena pada konteks budaya multikultur sesungguhnya memuat ‘kerentanan sosial’ karena masyarakat kita yang memiliki nilai-nilai kultural beragam. Hal semacam inilah yang acapkali merupakan salah satu tantangan tersendiri dalam aplikasi CBDRM di tingkat lokal. Konteks semacam ini juga yang kita saksikan ketika nilai-nilai kultural seperti sistem kepercayaan dalam suatu masyarakat berhadapan langsung dengan kuasa rasionalitas ilmu pengetahuan. Misalnya ketika dampak pemberitaan akan meletusnya Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu di Propinsi D.I Yogyakarta secara politis berpengaruh terhadap mobilisasi pendanaan dan secara ekonomis amat besar kaitannya bagi upaya tanggap bencana, tetapi transparasi prosesnya hingga kini masih jauh dari pantauan publik. Disisi lain, dalam kasus yang sama keberadaan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat di sekitar gunung berapi itu, yang diwarisi secara turun-menurun untuk menandai kewaspadaan, justru kurang diperhatikan. Dengan kata lain, tantangan di dalam memberlakukan prinsip keadilan lingkungan melalui CBDRM, sebenarnya sesuatu yang memuat unsurunsur dan mekanisme penyelenggaraan kebijakan publik yang mengutamakan demokratisasi di dalam prosesnya. Tentu hal ini, bukan sesuatu yang mudah, karena sebagian besar masyarakat juga perlu memiliki kesadaran bersama untuk merawat lingkungan di sekitar mereka, sedangkan tanggung-jawab sosial baik dari pemerintah maupun kalangan bisnis-korporasi adalah bagaimana menyokong ruang hidup bagi masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah yang rawan akan bencana (baik bencana alam, maupun karena faktor ‘human-eror’ seperti pada kasus lumpur- Lapindo Sidoarjo) agar bekerjasama, dan bagaimana menyusun suatu kesiapsiagaan yang memobilisasi partisipasi sosial masyarakat apabila sewaktu-waktu terjadi bencana.
Sumber : Prof. Dr. Heru Nugroho, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Depkominfo 2008.
 

Mitigasi Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez