Sabtu, 02 Mei 2009

Manajemen Risiko & Kebijakan Publik

Diposting oleh FPBI di 12.12
Pengungkapan mengelola risiko bencana di atas ditujukan untuk melihat bahwa dalam merespon bencana alam, sikap saling menyalahkan antar berbagai instrumen pemerintah maupun masyarakat tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh bencana alam maupun non alam ini. Diperlukan kesadaran kritis untuk mengelola lingkungan hidup, melanjutkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah yang terkena dampak bencana, sekaligus mulai belajar untuk membangun kesadaran kolektif dalam merawat lingkungan dan perencanaan pembangunan yang sensitif bukan hanya dalam merespon sewaktu-waktu terjadi bencana melainkan juga dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan. Meningkatnya bahaya yang diakibatkan oleh bencana alam khususnya di Negara berkembang juga dikarenakan oleh upaya pemenuhan kebutuhan kondisi material mendasar seperti pangan, papan, pakaian, sehingga mengabaikan pengendalian dan konservasi hutan, tanah, dan air. Kondisi semacam ini mendorong Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) untuk memprakarsai upaya penanggulangan bencana alam secara internasional melalui deklarasi ‘Dekade Pengurangan Bencana Alam Internasional’ (International Decade for Natural Disaster Reduction) pada awal abad 21.
Meskipun upaya ini masih lebih banyak berlangsung pada level advokasi, akan tetapi kesadaran itu harus segera direspon dalam wujud kelembagaan yang terkoordinasi karena kebutuhan untuk mengurangi risiko bencana secara sistematis memerlukan bukan hanya pemahaman, melainkan juga komitmen bersama antar semua pihak yang saling terkait, terutama di tingkat pengambil keputusan.
Upaya untuk merespon deklarasi PBB dalam mengurangi dampak bencana alam baik secara regional maupun nasional, di beberapa negara ditindak-lanjuti dengan strategi kerangka kerja bersama negara-negara dalam mengatasi dampak bencana maupun risikonya, misalnya seperti yang dilakukan melalui Hyogo Frame Work 2005-2015 dan The Beijing Action. Dalam merespon upaya di tingkat regional semacam itu, Pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana pada akhir tahun 2006 yang lalu. Rencana aksi ini memuat aspek penanganan bencana dalam prioritas Rencana Kerja Pembangunan Pemerintah (RKP) mulai tahun 2007, termasuk merancang produk legal hukum penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana melalui UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Harus diakui bahwa memang dalam level wacana di tingkat pengambil kebijakan khususnya di Pemerintah Pusat, sudah muncul kesadaran paradigmatik dalam penanganan bencana alam. Yakni, penanganan bencana tidak lagi hanya menekankan pada aspek ‘tanggap darurat’ saja, tetapi juga meliputi manajemen risiko. Di dalamnya memuat tanggung-jawab bersama antara pemerintah dan seluruh anggota masyarakat untuk menjaga keseimbangan lingkungan dalam aktivitas sosial dan produksi ekonomi. Meskipun rencana ini merupakan suatu agenda yang progresif, tetapi pelaksanaannya memerlukan pemantauan secara kritis khususnya dari elemen masyarakat sipil. Hal ini dikarenakan upaya untuk menindaklanjuti rencana utama strategi pembangunan yang mempertimbangkan risiko khususnya dalam mengatasi dan menanggulangi dampak bencana alam bukan hanya melibatkan mobilisasi secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus mempertimbangkan konteks budaya dari masyarakat di sekitar wilayah yang rawan bencana dalam tujuan untuk memobilisasi partisipasi sosial mereka. Belajar dari pengalaman yang berlangsung di negara lain misalnya, upaya untuk mempertimbangkan unsur budaya dalam penyusunan formulasi kebijakan publik yang mempertimbangkan aspek keseimbangan lingkungan dimunculkan melalui wacana dan gerakan sosial mengenai prinsip Environmental Justice (keadilan lingkungan). Aktivitas yang memobilisasi partisipasi masyarakat semacam ini merupakan suatu gerakan yang meliputi upaya advokasi dan proses lobi dalam formulasi kebijakan publik yang datang dari inisiatif masyarakat setempat khususnya yang berkenaan dengan upaya konservasi lingkungan. Prinsip mengenai Environmental Justice sebenarnya bukan hal yang baru karena gagasan dan gerakannya secara global telah berlangsung kira-kira selama tiga puluh tahun terakhir. Gerakan ini pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1976 yang diprakarsai oleh Serikat Pekerja Automobil Seluruh Amerika Serikat akibat adanya kontaminasi limbah industri yang mempengaruhi kondisi lingkungan dan mencemari air sungai. Prinsip Environmental Justice yang diadvokasikan secara global itu meliputi nilai- nilai antara lain :
  1. Semua orang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada aktivitas hidup yang dipengaruhi oleh lingkungan termasuk kesehatan;
  2. Kontribusi publik menjadi bagian yang mempengaruhi regulasi yang diputuskan oleh lembaga/pihak terkait;
  3. Perhatian publik atas masalah lingkungan hidup yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari mereka harus menjadi unsur utama dalam proses pengambilan keputusan;
  4. Para pengambil keputusan harus secara aktif mencari-tahu dan memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan yang secara potensial mempengaruhi mereka.

Secara praktis, prinsip keadilan lingkungan mengutamakan prosedur kebijakan yang memuat unsur-unsur keadilan sebagai berikut:

Keadilan Distributif
Dalam prakteknya merupakan langkah-langkah proteksi (perlindungan) untuk mendapatkan kesetaraan dalam memperoleh rasa aman dari dampak eksploitasi lingkungan, misalnya dari pencemaran alam. Pencemaran lingkungan yang bukan diakibatkan dari kehendak warga masyarakat, melainkan karena faktorfaktor pembangunan ekonomi seperti limbah industri, tidak bisa didistribusikan sebagai beban yang ditanggung oleh warga masyarakat di sekitarnya.

Keadilan Prosedural
Prakteknya harus merupakan penyusunan regulasi dan aturan yang bersifat ‘transparan’ sehingga memungkinkan anggota masyarakat untuk mengakses informasi dalam pengambilan keputusan yang memiliki dampak pada lingkungan. c. Keadilan Korektif Upaya untuk menerapkan aturan legal formal melalui legislasi, aturan dan regulasi atau proses hukum yang memungkinkan upaya-upaya untuk mendapatkan ‘keadilan formal’ sebagai dampak lingkungan, misalnya melalui perwujudan kompensasi bagi warga masyarakat yang dirugikan dan hukuman bagi mereka yang terbukti melakukan ‘kerusakan alam’.

Keadilan Sosial
Mengupayakan keadilan yang terfokus pada upaya membangun kesejahteraan masyarakat dengan menghindarkan eksploitasi secara berlebih-lebihan terhadap sumber daya alam melalui mekanisme keadilan prosedural, misalnya penerapan kajian dampak lingkungan, melibatkan peran-serta warga masyarakat dalam pembangunan ekonomi ramah lingkungan, serta pengenaan pajak atas eksploitasi sumber daya alam oleh kepentingan bisnis (korporasi) untuk didistribusikan sebagai tanggung- jawab sosial bagi kesejahteraan masyarakat.

Rancangan kebijakan yang hanya sekedar merespon persoalan jangka pendek bukanlah solusi yang tepat dalam menjaga kesinambungan daya tahan masyarakat, khususnya mereka yang tinggal di wilayah rawan bencana. Perumusan visi dan perencanaan agenda dalam penyusunan kebijakan bukan hanya sekedar melihat konteks ‘bencana’ dan kerusakan lingkungan sebagai masalah ekologis dan ekonomi semata, melainkan juga masalah yang bersifat sosial, politis dan kultural. Artinya, prinsip ‘keadilan lingkungan’ memuat pula norma dan nilai kultural dalam penerapan aturan dan regulasi yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Prinsip keadilan sosial justru akan memiliki ‘daya guna’ ketika masyarakat mulai menyadari potensi yang mereka miliki, baik potensi yang berpengaruh pada kerentanan maupun kekuatan dalam mengelola hubungan produktifnya dengan lingkungan alam. Efek ‘daya guna’ itu hanya akan muncul apabila masyarakat merasa bahwa ‘prinsip keadilan lingkungan’ adalah ‘kebutuhan’ mereka, bukan suatu ideologi yang dipaksakan tanpa memberikan daya manfaat apapun bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan mereka sendiri. Oleh karena itu, gerakan sosial yang bertujuan untuk mereformasi lingkungan hidup juga harus berorientasi pada upaya untuk mereformasi struktur kuasa yang melingkupi berbagai kebijakan yang berdampak baik secara langsung, maupun tidak langsung pada lingkungan hidup dan lingkungan manusia itu sendiri. Dengan mencermati rujukan konsep ‘keadilan lingkungan’ dalam upaya menyusun manajemen risiko bencana, maka asumsi mendasar yang harus dikembangkan adalah keterlibatan peran serta aktif seluruh anggota masyarakat. Oleh karenanya program manajemen risiko haruslah berbasis pada pendekatan komunitas. Pendekatan berbasis komunitas merupakan pembukaan ruang bagi advokasi dan kesempatan yang lebih luas untuk masyarakat agar berperan lebih aktif. Langkah ini meliputi bagaimana mengintegrasikan peran masyarakat ke dalam upaya-upaya untuk pencegahan kerusakan lingkungan, langkah-langkah kesiapsiagaan, tindakan tanggap bencana, serta tindakan pemulihan setelah terjadinya bencana. Dengan mengedepankan pendekatan mobilisasi partisipasi masyarakat yang memiliki basis di dalam komunitas, maka masyarakat akan memiliki kesadaran kritis, daya sensitif dalam mewaspadai potensi bencana alam di wilayah mereka tinggal, termasuk bagaimana menangani dampak bencana melalui upaya meningkatkan kemampuan untuk mengkonsolidasikan sumber daya di tingkat lokal.
Perencanaan program manajemen risiko bencana berbasis komunitas (CBDRM – Communty Based Disaster Risk Management) yang dilakukan mulai di tingkat lokal merujuk pada tiga elemen utama paradigma penanggulangan bencana, yakni:
  1. Mengubah respon darurat ke manajemen risiko; yang secara esensial mencangkup segala kegiatan untuk mengurangi dampak bencana alam dan bahkan menghindarinya.
  2. Melindungi rakyat dari akibat yang ditimbulkan oleh bencana sebagai kewajiban pemerintah dalam memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM); yang secara esensial merupakan wujud tugas dan kewajiban pemerintah dimana bentuk-bentuk respon terhadap bencana bukan sekedar memobilisasi ‘kemurahatian’ (charity) – melainkan bagian terintegrasi dalam perlindungan harkat hidup kemanusiaan bagi setiap warga negaranya.
  3. Menanggulangi dampak bencana sebagai tanggung-jawab bersama antara pemerintah dengan masyarakat; yang secara esensial mengajak masyarakat bertanggung-jawab atas penanggulangan bencana melalui kegiatan berbasis pada inisiatif warga masyarakat seperti praktek tanggung-jawab sosial dari korporasi (CSR- Corporate Social Responsibility), serta penguatan strategi berbasis pengetahuan lokal dan penggunaan tradisi masyarakat yang mendukung upaya sentral dalam menanggulangi dampak bencana.
Secara garis besar, CBDRM mensyaratkan fungsi semua elemen, pemerintah, masyarakat sipil, dan kalangan bisnis-korporasi untuk secara aktif mengupayakan model perencanaan pembangunan yang sensitif terhadap risiko bencana, baik yang diakibatkan oleh alam, maupun karena adanya intervensi manusia. Upaya ini secara teknis menyangkut prosedur pendayagunaan informasi data spasial daerah yang memiliki kerentanan bencana khususnya di dalam penyusunan pembangunan tata ruang yang mengkalkulasi risiko bencana serta penangulangannya. Oleh karena itu, prosedur ini hanya bisa berjalan baik apabila dilengkapi dengan sistem informasi dan pengawasan pembangunan tata-ruang melalui penguatan kelembagaan khususnya di dalam tata pemerintahan (baik pusat maupun daerah) sebagai motor utama penjabaran nilai paradigma pembangunan yang sensitif terhadap bencana, juga sebagai wujud tanggung-jawab pemerintah dalam melindungi warga negaranya (masyarakat). Jika dicermati ketiga elemen utama dalam paradigma manajemen risiko berbasis komunitas sebagaimana yang diulas di muka, maka nampak upaya untuk memuat prinsip nilai mengenai ‘environmental justice’ diturunkan ke dalam formulasi strategi penyusunan kebijakan manajemen risiko berbasis komunitas (CBDRM). Meskipun demikian, dikarenakan pendekatan CBDRM merupakan suatu program yang juga mengakomodasi nilai dan tradisi lokal, karenanya harus melihat kenyataan bahwa unsur nilai-nilai budaya lokal dalam masyarakat Indonesia itu bersifat majemuk. Mengapa hal tersebut perlu menjadi suatu kesadaran kritis, karena pada konteks budaya multikultur sesungguhnya memuat ‘kerentanan sosial’ karena masyarakat kita yang memiliki nilai-nilai kultural beragam. Hal semacam inilah yang acapkali merupakan salah satu tantangan tersendiri dalam aplikasi CBDRM di tingkat lokal. Konteks semacam ini juga yang kita saksikan ketika nilai-nilai kultural seperti sistem kepercayaan dalam suatu masyarakat berhadapan langsung dengan kuasa rasionalitas ilmu pengetahuan. Misalnya ketika dampak pemberitaan akan meletusnya Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu di Propinsi D.I Yogyakarta secara politis berpengaruh terhadap mobilisasi pendanaan dan secara ekonomis amat besar kaitannya bagi upaya tanggap bencana, tetapi transparasi prosesnya hingga kini masih jauh dari pantauan publik. Disisi lain, dalam kasus yang sama keberadaan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat di sekitar gunung berapi itu, yang diwarisi secara turun-menurun untuk menandai kewaspadaan, justru kurang diperhatikan. Dengan kata lain, tantangan di dalam memberlakukan prinsip keadilan lingkungan melalui CBDRM, sebenarnya sesuatu yang memuat unsurunsur dan mekanisme penyelenggaraan kebijakan publik yang mengutamakan demokratisasi di dalam prosesnya. Tentu hal ini, bukan sesuatu yang mudah, karena sebagian besar masyarakat juga perlu memiliki kesadaran bersama untuk merawat lingkungan di sekitar mereka, sedangkan tanggung-jawab sosial baik dari pemerintah maupun kalangan bisnis-korporasi adalah bagaimana menyokong ruang hidup bagi masyarakat, khususnya di wilayah-wilayah yang rawan akan bencana (baik bencana alam, maupun karena faktor ‘human-eror’ seperti pada kasus lumpur- Lapindo Sidoarjo) agar bekerjasama, dan bagaimana menyusun suatu kesiapsiagaan yang memobilisasi partisipasi sosial masyarakat apabila sewaktu-waktu terjadi bencana.
Sumber : Prof. Dr. Heru Nugroho, Jurnal Dialog Kebijakan Publik, Depkominfo 2008.

0 komentar on "Manajemen Risiko & Kebijakan Publik"

Posting Komentar

 

Mitigasi Copyright 2009 Reflection Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez