RAMALAN datangnya El Nino yang bakal membawa kekeringan berkepanjangan pada 2010 butuh diantisipasi sejak dini. Untuk jangka pendek, tentu intensifikasi hasil pertanian ialah jawaban bagi kondisi stok pangan saat ini. Adapun jangka panjangnya, dibutuhkan kebijakan pertanian yang adaptif terhadap fenomena alam.
Adalah kelompok tani (klomtan) Rukun Tani asal Desa Karang Jambe, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, yang belakangan sibuk beralih ke sistem pertanian organik meski dampaknya hasil panenan mereka anjlok.
Toh, Purwoko, ketua klomtan, menuturkan bahwa puluhan petani dalam kelompok itu tidak lantas kecewa. "Meski dengan pertanian organik hasil panenan turun 1 ton, kami tidak kecewa karena sudah tahu sebelumnya bahwa ada risiko yang harus ditanggung," kata dia. Saat bergabung dengan program budi daya pertanian organik SRI (System of Rice Intensification) Departemen Pertanian, penyuluh sudah memberi tahu dan mengajak petani melakukan studi banding bahwa efek awal mengubah pola pertanian konvensional menjadi organik ialah penurunan produksi.
Dan, hasil nyata peralihan tersebut memang tidak bisa instan dan langsung memperoleh panenan banyak. Butuh waktu dua sampai tiga kali penanaman untuk mengembalikan hasil produksi cara organik sama atau bahkan melebihi cara konvensional.
Seusai studi banding, Purwoko bersama 38 anggotanya paham bahwa peralihan tersebut sama saja dengan mengubah tekstur tanah supaya lebih baik dan subur. Mereka juga belajar dari pengalaman petani lain yakni petani yang tergabung dalam Himpunan Petani Organik Banyumas (Hipormas).
Menurut Ketua Hipromas Sugeng Abdurrahman, hasil pertanian organik pada awal budi daya memang jauh menurun. Dengan luas tanam sekitar 1.750 m2 maka panen yang dihasilkan hanya 2,5 kuintal saja, sementara jika menggunakan bahan kimia anorganik panenan bisa mencapai 4 kuintal. Tetapi jangan kecil hati, setelah tahun kedua dan ketiga produktivitas bisa menyamai pertanian konvensional.
"Sebagai awal, tanah sawah yang akan diolah dengan cara organik setidaknya membutuhkan 5-6 ton pupuk kandang dicampur jerami. Tetapi setiap awal musim penggunaan pupuk justru semakin menurun jumlahnya, hingga mencapai 1-1,5 ton per hektare," ujar Sugeng.
Meski begitu, kalau petani konsisten, ke depannya kondisi petani organik lebih sejahtera daripada petani yang masih berkutat pada pertanian konvensional," ujar Sugeng.
Sugeng, misalnya, hanya dengan memiliki lahan seluas setengah bahu atau sekitar 3.500 m2, ia tidak menjadi `miskin'. Bahkan, sekarang hasil panennya melebihi para petani konvensional yang menggunakan pupuk dan obat kimia produksi pabrik.
"Sekarang setiap hektare panen saya bisa mencapai 6,2 ton. Kalau petani konvensional, rata-rata hanya mencapai 5,5 ton saja," ujarnya.
Irit air Tidak hanya itu, pertanian organik ternyata akan lebih adaptif terhadap perubahan iklim yang terjadi. Misalnya saja, budi daya itu lebih sedikit membutuhkan air sehingga sangat cocok ketika menghadapi datangnya El Nino.
"Telah kami buktikan kalau pertanian organik itu tidak perlu membutuhkan air yang banyak. Misalnya, untuk pertanian konvensional butuh sekitar 5 hingga 10 sentimeter (cm) air untuk menggenangi tanaman padinya. Kalau pertanian organik, cukup hanya 1 cm saja. Bahkan, pada masa pertumbuhan, yang penting basah tanahnya," kata Purwoko.
Selain itu, dengan pertanian organik petani tidak perlu lagi membeli pupuk anorganik atau pestisida kimia. Mereka dapat memanfaatkan jerami atau pupuk kandang untuk diproses menjadi pupuk organik.
Ketika menghadiri panen perdana padi organik SRI di Desa Karang Jambe tersebut, Direktur Pengelolaan Lahan pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian, Amir Hartono, juga menyatakan pertanian organik menjadi salah satu solusi cara pertanian dalam menghadapi perubahan iklim.
"Cara pertanian organik itu memang irit air. Dari kajian dan pengalaman yang ada, pengiritan air irigasi bisa sampai 40% jika dibandingkan dengan pertanian konvensional," tambahnya. Sumber : Media Indonesia.
Toh, Purwoko, ketua klomtan, menuturkan bahwa puluhan petani dalam kelompok itu tidak lantas kecewa. "Meski dengan pertanian organik hasil panenan turun 1 ton, kami tidak kecewa karena sudah tahu sebelumnya bahwa ada risiko yang harus ditanggung," kata dia. Saat bergabung dengan program budi daya pertanian organik SRI (System of Rice Intensification) Departemen Pertanian, penyuluh sudah memberi tahu dan mengajak petani melakukan studi banding bahwa efek awal mengubah pola pertanian konvensional menjadi organik ialah penurunan produksi.
Dan, hasil nyata peralihan tersebut memang tidak bisa instan dan langsung memperoleh panenan banyak. Butuh waktu dua sampai tiga kali penanaman untuk mengembalikan hasil produksi cara organik sama atau bahkan melebihi cara konvensional.
Seusai studi banding, Purwoko bersama 38 anggotanya paham bahwa peralihan tersebut sama saja dengan mengubah tekstur tanah supaya lebih baik dan subur. Mereka juga belajar dari pengalaman petani lain yakni petani yang tergabung dalam Himpunan Petani Organik Banyumas (Hipormas).
Menurut Ketua Hipromas Sugeng Abdurrahman, hasil pertanian organik pada awal budi daya memang jauh menurun. Dengan luas tanam sekitar 1.750 m2 maka panen yang dihasilkan hanya 2,5 kuintal saja, sementara jika menggunakan bahan kimia anorganik panenan bisa mencapai 4 kuintal. Tetapi jangan kecil hati, setelah tahun kedua dan ketiga produktivitas bisa menyamai pertanian konvensional.
"Sebagai awal, tanah sawah yang akan diolah dengan cara organik setidaknya membutuhkan 5-6 ton pupuk kandang dicampur jerami. Tetapi setiap awal musim penggunaan pupuk justru semakin menurun jumlahnya, hingga mencapai 1-1,5 ton per hektare," ujar Sugeng.
Meski begitu, kalau petani konsisten, ke depannya kondisi petani organik lebih sejahtera daripada petani yang masih berkutat pada pertanian konvensional," ujar Sugeng.
Sugeng, misalnya, hanya dengan memiliki lahan seluas setengah bahu atau sekitar 3.500 m2, ia tidak menjadi `miskin'. Bahkan, sekarang hasil panennya melebihi para petani konvensional yang menggunakan pupuk dan obat kimia produksi pabrik.
"Sekarang setiap hektare panen saya bisa mencapai 6,2 ton. Kalau petani konvensional, rata-rata hanya mencapai 5,5 ton saja," ujarnya.
Irit air Tidak hanya itu, pertanian organik ternyata akan lebih adaptif terhadap perubahan iklim yang terjadi. Misalnya saja, budi daya itu lebih sedikit membutuhkan air sehingga sangat cocok ketika menghadapi datangnya El Nino.
"Telah kami buktikan kalau pertanian organik itu tidak perlu membutuhkan air yang banyak. Misalnya, untuk pertanian konvensional butuh sekitar 5 hingga 10 sentimeter (cm) air untuk menggenangi tanaman padinya. Kalau pertanian organik, cukup hanya 1 cm saja. Bahkan, pada masa pertumbuhan, yang penting basah tanahnya," kata Purwoko.
Selain itu, dengan pertanian organik petani tidak perlu lagi membeli pupuk anorganik atau pestisida kimia. Mereka dapat memanfaatkan jerami atau pupuk kandang untuk diproses menjadi pupuk organik.
Ketika menghadiri panen perdana padi organik SRI di Desa Karang Jambe tersebut, Direktur Pengelolaan Lahan pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Departemen Pertanian, Amir Hartono, juga menyatakan pertanian organik menjadi salah satu solusi cara pertanian dalam menghadapi perubahan iklim.
"Cara pertanian organik itu memang irit air. Dari kajian dan pengalaman yang ada, pengiritan air irigasi bisa sampai 40% jika dibandingkan dengan pertanian konvensional," tambahnya. Sumber : Media Indonesia.